aPendapat Syaikh Zaini Dahlan (Mufti
Makkah di Zamannya) Atas Ajaran Wahha
Permulaan
munculnya Muhammad ibn Abdil Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun
1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di
wilayah Nejd dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab meninggal
pada tahun 1206 H. Ia banyak menyerukan berbagai ajaran yang ia anggap sebagai
berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Ajarannya tersebut banyak ia ambil atau
tepatnya ia hidupkan
kembali dari faham-faham Ibn Taimiyah yang sebelumnya
telah padam, di antaranya; mengharamkan tawassul dengan Rasulullah,
mengharamkan perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam lainnya
dari para Nabi dan orang-orang saleh untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan
dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan orang yang memanggil dengan “Ya
Rasulallah…!”, atau “Ya Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul Qadir…! Tolonglah
aku…!” kecuali, menurut mereka, bagi yang hidup dan yang ada di hadapan saja,
mengatakan bahwa talak terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan. Menurutnya
talak semacam itu hanya digugurkan dengan membayar kaffarah saja, seperti orang
yang bersumpah dengan nama Allah, namun ia menyalahinya
Selain menghidupkan kembali faham-faham
Ibn Timiyyah, Muhammad ibn Abdil Wahhab juga membuat faham baru, di antaranya;
mengharamkan mengenakan hirz (semacam jimat) walaupun di dalamnya hanya
terkandung ayat-ayat al-Qur’an atau nama-nama Allah, mengharamkan bacaan keras
dalam shalawat kepada Rasulullah setelah mengumandangkan adzan. Kemudian para
pengikutnya, yang kenal dengan kaum Wahhabiyyah, mengharamkan perayaan maulid
nabi Muhammad. Hal ini berbeda dengan Imam mereka; yaitu Ibn Taimiyah, yang
telah membolehkannya.
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir kesultanan Utsmaniyyah, dalam
kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:
“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abdil
Wahhab- pada permulaannya adalah seorang penunut ilmu di wilayah Madinah.
Ayahnya adalah salah seorang ahli ilmu, demikian pula saudaranya; Syekh
Sulaiman ibn Abdil Wahhab. Ayahnya, yaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya
Syekh Sulaiman, serta banyak dari guru-gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad
ibn Abdil Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal ini karena mereka melihat dari
banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan Muhammad ibn
Abdil Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama. Mereka semua
mengingatkan banyak orang untuk mewaspadainya dan menghindarinya. Di kemudian
hari ternyata Allah menentukan apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri
Muhammad ibn Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa ajaran sesat hingga
menyesatkan orang-orang yang bodoh. Ajaran-ajarannya tersebut banyak yang
berseberangan dengan para ulama agama ini. bahkan dengan ajarannya itu ia telah
mengkafirkan orang-orang Islam sendiri. Ia mengatakan bahwa ziarah ke makam
Rasulullah, tawassul dengannya, atau tawassul dengan para nabi lainnya atau
para wali Allah dan orang-orang, serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan
mencari berkah adalah perbuatan syirik. Menurutnya bahwa memanggil nama Nabi
ketika bertawassul adalah perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi
lainnya, atau memanggil para wali Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan
tawassul dengan mereka adalah perbuatan syirik. Ia juga meyakini bahwa
menyandarkan sesuatu kepada selain Allah, walaupun dengan cara majâzi (metapor)
adalah pekerjaan syirik, seperti bila seseorang berkata: “Obat ini memberikan
manfa’at kepadaku” atau “Wali Allah si fulan memberikan manfaat apa bila
bertawassul dengannya”. Dalam menyebarkan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdil
Wahhab mengambil beberapa dalil yang sama sekali tidak menguatkannya. Ia banyak
memoles ungkapan-ungkapan seruannya dengan kata-kata yang menggiurkan dan muslihat
hingga banyak diikuti oleh orang-orang awam. Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil
Wahhab telah menulis beberapa risalah untuk mengelabui orang-orang awam, hingga
banyak dari orang-orang awam tersebut yang kemudian mengkafirkan orang-orang
Islam dari para ahli tauhid” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 66).
Dalam
kitab tersebut kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Banyak
sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah mengatakan
bahwa dia akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang akan sesat
karenanya. Mereka adalah orang-orang yang di hinakan oleh Allah dan dijauhkan
dari rahmat-Nya. Dan kemudian apa yang dikhawatirkan oleh guru-gurunya tersebut
menjadi kenyataan. Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri mengaku bahwa ajaran yang
ia serukannya ini adalah sebagai pemurnian tauhid dan untuk membebaskan dari
syirik. Dalam keyakinannya bahwa sudah sekitar enam ratus tahun ke belakang
dari masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia mengaku
bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang
turun tentang orang-orang musyrik ia berlakukan bagi orang-orang Islam ahli
tauhid. Seperti firman Allah: “Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang
berdoa kepada selain Allah; ia meminta kepada yang tidak akan pernah
mengabulkan baginya hingga hari kiamat, dan mereka yang dipinta itu lalai
terhadap orang-orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf: 5), dan firman-Nya: “Dan
janganlah engkau berdoa kepada selain Allah terhadap apa yang tidak memberikan
manfa’at bagimu dan yang tidak memberikan bahaya bagimu, jika bila engkau
melakukan itu maka engkau termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Yunus: 106),
juga firman-Nya: ”Dan mereka yang berdoa kepada selain Allah sama sekali tidak
mengabulkan suatu apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1), serta berbagai ayat
lainnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab mengatakan bahwa siapa yang meminta
pertolongan kepada Rasulullah atau para nabi lainnya, atau kepada para wali
Allah dan orang-orang saleh, atau memanggil mereka, atau juga meminta syafa’at
kepada mereka maka yang melakukan itu semua sama dengan orang-orang musyrik,
dan menurutnya masuk dalam pengertian ayat-ayat di atas. Ia juga mengatakan
bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau para nabi lainnya, atau para wali Allah
dan orang-orang saleh untuk tujuan mencari berkah maka sama dengan orang-orang
musyrik di atas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan orang-orang
musyrik saat mereka menyembah berhala: “Tidaklah kami menyembah mereka -berhala-berhala-
kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (QS. al-Zumar: 3), menurut
Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang yang melakukan tawassul sama saja
dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala yang mengatakan tidaklah kami
menyembah berhala-berhala tersebut kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah”
(al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 67).
Pada halaman selanjutnya Syekh
as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Al-Bukhari
telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam menggambarkan
sifat-sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang turun tentang
orang-orang kafir dan memberlakukannya bagi orang-orang mukmin. Dalam Hadits
lain dari riwayat Abdullah ibn Umar pula bahwa Rasulullah telah bersabda: “Hal
yang paling aku takutkan di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku
adalah seseorang yang membuat-buat takwil al-Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat
al-Qur’an tersebut- bukan pada tempatnya”. Dua riwayat Hadits ini benar-benar
telah terjadi pada kelompok Wahhabiyyah ini” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2,
h. 68).
Syekh
as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih dalam buku tersebut menuliskan pula:
“Di
antara yang telah menulis karya bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab
adalah salah seorang guru terkemukanya sendiri, yaitu Syekh Muhammad ibn
Sulaiman al-Kurdi, penulis kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ Fadlal. Di
antara tulisan dalam karyanya tersebut Syekh Sulaiman mengatakan: Wahai Ibn
Abdil Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan cacianmu terhadap orang-orag
Islam” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 69).
Masih
dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:
“Mereka
(kaum Wahhabiyyah) malarang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah
dikumandangkan adzan di atas menara-menara. Bahkan disebutkan ada seorang yang
saleh yang tidak memiliki penglihatan, beliau seorang pengumandang adzan. Suatu
ketika setelah mengumandangkan adzan ia membacakan shalawat atas Rasulullah,
ini setelah adanya larangan dari kaum Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh buta
ini kemudian mereka bawa ke hadapan Muhammad ibn Abdil Wahhab, selanjutnya ia
memerintahkan untuk dibunuh. Jika saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang
diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan
untuk itu, namun setidaknya sekedar inipun cukup” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j.
2, h. 77).
Di
antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini
Dahlan dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang membacakan
shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan adalah peristiwa yang
terjadi di Damaskus Siria (Syam). Suatu ketika pengumandang adzan masjid Jami’
al-Daqqaq membacakan shalawat atas Rasulullah setelah adzan, sebagaimana
kebiasaan di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât Wa as-Salâm ‘Alayka Ya
Rasûlallâh…!”, dengan nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang
berada di pelataran masjid berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu
sama saja dengan orang yang mengawini ibunya sendiri…”. Kemudian terjadi
pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-orang Ahlussunnah,
hingga orang Wahhabi tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini dibawa ke mufti
Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini
memanggil pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin al-Albani, dan membuat
perjanjian dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr
mengancamnya bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran Wahhabi maka ia akan
dideportasi dari Siria.
Kemudian
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Muhammad
ibn Abdil Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering menyampaikan
khutbah jum’at di masjid ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya ia selalu
mengatakan bahwa siapapun yang bertawassul dengan Rasulullah maka ia telah menjadi
kafir. Sementara itu saudaranya sendiri, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab
adalah seorang ahli ilmu. Dalam berbagai kesempatan, saudaranya ini selalu
mengingkari Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa yang dia lakukan, ucapakan dan
segala apa yang ia perintahkan. Sedikitpun, Syekh Sulaiman ini tidak pernah
mengikuti berbagai bid’ah yang diserukan olehnya. Suatu hari Syekh Sulaiman
berkata kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah rukun Islam?” Muhammad ibn Abdil
Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh Sulaiman berkata: “Engkau telah menjadikannya
enam, dengan menambahkan bahwa orang yang tidak mau mengikutimu engkau anggap
bukan seorang muslim”.
Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil
Wahhab: “Berapa banyak orang yang Allah merdekakan (dari neraka) di setiap
malam Ramadlan? Ia menjawab: “Setiap malam Ramadlan Allah memerdekakan seratus
ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan sejumlah orang yang
dimerdekakan dalam sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut berkata: “Seluruh
orang yang mengikutimu jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh dari
sepersepuluh jumlah yang telah engkau sebutkan, lantas siapakah orang-orang
Islam yang dimerdekakan Allah tersebut?! Padahal menurutmu orang-orang Islam
itu hanyalah mereka yang mengikutimu”. Muhammad ibn Abdil Wahhab terdiam tidak
memiliki jawaban.
Ketika
perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman
semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri.
Karena bisa saja Muhammad ibn Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang
untuk membunuhnya. Akhirnya ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya
sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab yang kemudian ia kirimkan
kepadanya. Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian
sesatnya. Demikian pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis
berbagai risalah bantahan terhadap Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka
kirimkan kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak berubah
sedikitpun.
Suatu
ketika, salah seorang kepala sautu kabilah yang cukup memiliki kekuatan hingga
hingga Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya:
”Bagaimana sikapmu jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur,
amanah, dan memiliki ilmu agama berkata kepadamu bahwa di belakang suatu gunung
terdapat banyak orang yang hendak menyerbu dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan
seribu pasukan berkuda untuk medaki gunung itu dan melihat orang-orang yang
hendak membunuhmu tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu orangpun
di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu
orang tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?” Muhammad ibn
Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian
kepada kabilah tersebut berkata: ”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam karya-karya mereka telah
mendustakan ajaran yang engkau bawa, mereka mengungkapkan bahwa ajaran yang
engkau bawa adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak
tersebut dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama
sekali tidak berkata-kata.
Terjadi
pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab:
”Ajaran agama yang engkau bawa ini apakah ini bersambung (hingga Rasulullah)
atau terputus?”. Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh guru-guruku,
bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus tahun lalu, semua mereka adalah
orang-orang musyrik”. Orang tadi kemudian berkata: ”Jika demikian ajaran yang
engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau mendapatkannya?” Ia
menjawab: ”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khadlir”.
Kemudian orang tersebut berkata: ”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat
wahyu ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu
ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu adalah perkara yang telah disepakati
di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah memiliki dua
pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul
telah menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, h.
42-43).
Yang
dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam
keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya ialah hingga
tahun masa hidup Ibn Taimiyah, yaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan
hijriyah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam rentang masa
antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu di abad tujuh dan delapan hijriyah dengan masa
hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas hijriyah, semua orang di dalam masa
tersebut adalah orang-orang musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang
yang datang untuk memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa hanya Ibn Taimiyah
yang selaras dengan jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya
adalah satu-satunya orang yang menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat itu
Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap bahwa hingga datang
abad dua belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang melanjutkan dakwah Ibn
Taimiyah tersebut. Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sungguh sangat sangat
aneh, bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas umat Islam
Ahlussunnah yang jumlahnya ratusan juta, sementara ia menganggap bahwa hanya
pengikutnya sendiri yang benar-benar dalam Islam?! Padahal jumalah mereka di
masanya hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian di Najd sendiri, yang
merupakan basis gerakannya saat itu, mayoritas penduduk wilayah tersebut di
masa hidup Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan faham-fahamnya.
Hanya saja memang saat itu banyak orang di wilayah tersebut takut terhadap
dirinya, oleh karena prilakunya yang tanpa segan membunuh orang-orang yang
tidak mau mengikuti ajakannya.
Prilaku
jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir
ash-Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm. Pada awalnya,
ash-Shan’ani memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil Wahhab, namun setelah ia
mengetahui hakekat siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, ia kemudian berbalik
mengingkarinya. Sebelum mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abdil Wahhab,
ash-Shan’ani memujinya dengan menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal bait
sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:
سَلاَمٌ عَلَى نَجْدٍ وَمَنْ حَلّ فِي
نَجْدِ وَإنْ كَانَ تَسْلِيْمِيْ عَلَى البُعْدِ لاَ يجْدِي
“Salam
tercurah atas kota Najd dan atas orang-orang yang berada di dalamnya, walaupun
salamku dari kejauhan tidak mencukupi”.
Bait-bait
sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir (Dîwân)
karya ash-Shan’ani sendiri, dan telah diterbitkan. Secara keseluruhan,
bait-bait syair tersebut juga dikutip oleh as-Syaukani dalam karyanya berjudul
al-Badr at-Thâli’, juga dikutip oleh Shiddiq Hasan Khan dalam karyanya berjudul
at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapatkan
tempat di hati orang-orang yang tidak mengetahui hakekatnya. Padahal al-Amir
ash-Shan’ani setelah mengetahui bahwa prilaku Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu
membunuh orang-orang yang tidak sepaham dengannya, merampas harta benda orang
lain, mengkafirkan mayoritas umat Islam, maka ia kemudian meralat segala pujian
terhadapnya yang telah ia tulis dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang lalu
kemudian balik mengingkarinya. Ash-Shan’ani kemudian membuat bait-bait sya’ir
baru untuk mengingkiari apa yang telah ditulisnya terdahulu, di antaranya
sebagai berikut:
رَجَعْتُ عَن القَول الّذيْ قُلتُ فِي
النّجدِي فقَدْ صحَّ لِي عنهُ خلاَفُ الّذِي عندِي
ظنَنْتُ بهِ خَيْرًا فَقُـلْتُ عَـسَى
عَـسَى نَجِدْ نَاصِحًا يَهْدي العبَادَ وَيستهْدِي
لقَد خَـابَ فيْه الظنُّ لاَ خَاب
نصـحُنا ومَـا كلّ ظَـنٍّ للحَقَائِق لِي يهدِي
وقَـدْ جـاءَنا من أرضِـه الشيخ
مِرْبَدُ فحَقّق مِنْ أحـوَاله كلّ مَا يبـدِي
وقَـد جَـاءَ مِـن تأليــفِهِ
برَسَـائل يُكَـفّر أهْلَ الأرْض فيْهَا عَلَى عَمدِ
ولـفق فِـي تَكْـفِيرِهمْ كل حُــجّةٍ
تَرَاهـا كبَيتِ العنْكَبوتِ لدَى النّقدِ
“Aku ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang
yang berasal dari Najd, sekarang aku telah mengetahui kebenaran yang berbeda
dengan sebelumnya”.
“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata:
Semoga kita mendapati dirinya sebagi seorang pemberi nasehat dan pemeberi
petunjuk bagi orang banyak”
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan
belaka. Namun demikian bukan berarti nasehat kita juga merupakan kesia-siaan,
karena sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan kepada ketaidaktahuan akan
hakekat-hakekat”.
“Telah datang kepada kami “Syekh” ini dari tanah asalnya.
Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya tentang segala
hakekat keadaannya dalam apa yang ia tampakkan”.
“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah ia
tuliskan, dengan sengaja di dalamnya ia mengkafirkan seluruh orang Islam
penduduk bumi, -selain pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam
mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka
landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki
kekuatan”.
Selain
bait-bait sya’ir di atas terdapat lanjutannya yang cukup panjang, dan
ash-Shan’ani sendiri telah menuliskan penjelasan (syarh) bagi bait-bait syair
tersebut. Itu semua ditulis oleh ash-Shan’ani hanya untuk membuka hekekat
Muhammad ibn Abdil Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap ekstrim dan
ajaran-ajarannya. Kitab karya al-Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan
judul “Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Saudara
kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah kita sebutkan di atas, yaitu Syekh
Sulaiman ibn Abdil Wahhab, juga telah menuliskan karya bantahan kepadanya.
Beliau namakan karyanya tersebut dengan judul ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî
al-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, dan buku ini telah dicetak. Kemudian terdapat
karya lainnya dari Syekh Suliman, yang juga merupakan bantahan kepada Muhammad
ibn Abdil Wahhab dan para pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd
‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Kemudian
pula salah seorang mufti madzhab Hanbali di Mekah pada masanya, yaitu Syekh
Muhammad ibn Abdullah an-Najdi al-Hanbali, wafat tahun 1295 hijriyah, telah
menulis sebuah karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-Hanâbilah”.
Kitab ini berisi penyebutan biografi ringkas setiap tokoh terkemuka di kalangan
madzhab Hanbali. Tidak sedikitpun nama Muhammad ibn Abdil Wahhab disebutkan
dalam kitab tersebut sebagai orang yang berada di jajaran tokoh-tokoh madzhab
Hanbali tersebut. Sebaliknya, nama Muhammad ibn Abdil Wahhab ditulis dengan
sangat buruk, namanya disinggung dalam penyebutan nama ayahnya; yaitu Syekh
Abdul Wahhab ibn Sulaiman. Dalam penulisan biografi ayahnya ini Syekh Muhammad
ibn Abdullah an-Najdi mengatakan sebagai berikut:
“Dia (Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah
ayah kandung dari Muhammad yang ajaran sesatnya telah menyebar ke berbagai
belahan bumi. Antara ayah dan anak ini memiliki perbedaan faham yang sangat
jauh, dan Muhammad ini baru menampakan secara terang-terangan terhadap segala
faham dan ajaran-ajarannya setelah kematian ayahnya. Aku telah diberitahukan
langsung oleh beberapa orang dari sebagian ulama dari beberapa orag yang hidup
semasa dengan Syekh Abdul Wahhab, bahwa ia sangat murka kepada anaknya;
Muhammad. Karena Muhammad ini tidak mau mempelajari ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu
agama lainnya) seperti orang-orang pendahulunya. Ayahnya ini juga mempunyai
firasat bahwa pada diri Muhammad akan terjadi kesesatan yang sanat besar.
Kepada banyak orang Syekh Abdul Wahhab selalu mengingatkan: ”Kalian akan
melihat dari Muhammad ini suatu kejahatan...”. Dan ternyata memang Allah telah
mentaqdirkan apa yang telah menjadi firasat Syekh Abdul Wahhab ini.
Demikian
pula dengan saudara kandungnya, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, ia
sangat mengingkari sepak terjang Muhammad. Ia banyak membantah saudaranya
tersebut dengan berbagai dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits,
karena Muhammad tidak mau menerima apapun kecuali hanya al-Qur’an dan Hadits
saja. Muhammad sama sekali tidak menghiraukan apapun yang dinyatakan oleh para
ulama, baik ulama terdahulu atau yang semasa dengannya. Yang ia terima hanya
perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang
dinyatakan oleh dua orang ini, ia pandang laksana teks yang tidak dapat
diganggu gugat. Kepada banyak orang ia selalu mempropagandakan pendapat-pendapat
Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun terkadang dengan pemahaman yang sama
sekali tidak dimaksud oleh keduanya. Syekh Sulaiman menamakan karya bantahan
kepadanya dengan judul Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd
al-Wahhâb.
Syekh
Sulaiman ini telah diselamatkan oleh Allah dari segala kejahatan dan marabahaya
yang ditimbulkan oleh Muhammad, yang padahal hal tersebut sangat
menghkawatirkan siapapun. Karena Muhammad ini, apa bila ia ditentang oleh
seseorang dan ia tidak kuasa untuk membunuh orang tersebut dengan tangannya
sendiri maka ia akan mengirimkan orangnya untuk membunuh orang itu ditempat
tidurnya, atau membunuhnya dengan cara membokongnya di tempat-tempat keramaian
di malam hari, seperti di pasar. Ini karena Muhammad memandang bahwa siapapun
yang menentangnya maka orang tersebut telah menjadi kafir dan halal darahnya.
Disebutkan
bahwa di suatu wilayah terdapat seorang gila yang memiliki kebiasaan membunuh
siapapun yang ada di hadapannya. Kemudian Muhammad memerintahkan orang-orangnya
untuk memasukkan orang gila tersebut dengan pedang ditangannya ke masjid di
saat Syekh Sulaiman sedang sendiri di sana. Ketika orang gila itu dimasukan,
Syekh Sulaiman hanya melihat kepadanya, dan tiba-tiba orang gila tersebut
sangat ketakutan darinya. Kemudian orang gila tersebut langsung melemparkankan
pedangnya, sambil berkata: ”Wahai Sulaiman janganlah engkau takut, sesungguhnya
engkau adalah termasuk orang-orang yang aman”. Orang gila itu mengulang-ulang
kata-katanya tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas merupakan
karamah” (as-Suhub al-Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).
Dalam
tulisan Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi di atas disebutkan bahwa Syekh
Abdul Wahhab sangat murka sekali kepada anaknya; Muhammad, karena tidak mau
mempelajari ilmu fiqih, ini artinya bahwa dia sama sekali bukan seorang ahli
fiqih dan bukan seorang ahli Hadits. Adapun yang membuat dia sangat terkenal
tidak lain adalah karena ajarannya yang sangat ekstrim dan nyeleneh. Sementara
para pengikutnya yang sangat mencintainya, hingga mereka menggelarinya dengan
Syekh al-Islâm atau Mujaddid, adalah klaim laksana panggang yang sangat jauh
dari api. Para pengikutnya yang lalai dan terlena tersebut hendaklah mengetahui
dan menyadari bahwa tidak ada seorangpun dari sejarawan terkemuka di abad dua
belas hijriyah yang mengungkap biografi Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan
menyebutkan bahwa dia adalah seorang ahli fiqih atau seorang ahli Hadits.
Syekh
Ibn Abidin al-Hanafi dalam karyanya; Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr
menuslikan sebagai berikut:
“Penjelasan;
Prihal para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab sebagai kaum Khawarij di zaman
kita ini. Pernyataan pengarang kitab (yang saya jelaskan ini) tentang kaum
Khawarij: “Wa Yukaffirûn Ash-hâba Nabiyyina…”, bahwa mereka adalah kaum yang
mengkafirkan para sahabat Rasulullah, artinya kaum Khawarij tersebut bukan
hanya mengkafirkan para sahabat saja, tetapi kaum Khawarij adalah siapapun
mereka yang keluar dari pasukan Ali ibn Abi Thalib dan memberontak kepadanya.
Kemudian dalam keyakinan kaum Khawajij tersebut bahwa yang memerangi Ali ibn
Abi Thalib, yaitu Mu’awiyah dan pengikutnya, adalah juga orang-orang kafir.
Kelompok Khawarij ini seperti yang terjadi di zaman kita sekarang, yaitu para
pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah memerangi dan menguasai
al-Haramain; Mekkah dan Madinah. Mereka memakai kedok madzhab Hanbali. Mereka
meyakini bahwa hanya diri mereka yang beragama Islam, sementara siapapun yang
menyalahi mereka adalah orang-orang musyrik. Lalu untuk menegakan keyakinan ini
mereka mengahalalkan membunuh orang-orang Ahlussunnah. Oleh karenanya banyak di
antara ulama Ahlussunnah yang telah mereka bunuh. Hingga kemudian Allah
menghancurkan kekuatan mereka dan membumihanguskan tempat tinggal mereka hingga
mereka dikuasai oleh balatentara orang-orang Islam, yaitu pada tahun seribu dua
ratus tiga puluh tiga hijriyah (th 1233 H)” (Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr
al-Mukhtâr, j. 4, h. 262; Kitab tentang kaum pemberontak.).
Salah
seorang ahli tafsir terkemuka; Syekh Ahmad ash-Shawi al-Maliki dalam ta’lîq-nya
terhadap Tafsîr al-Jalâlain menuliskan sebagai berikut:
“Menurut
satu pendapat bahwa ayat ini turun tentang kaum Khawarij, karena mereka adakah
kaum yang banyak merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits
Rasulullah. Mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta mereka.
Dan kelompok semacam itu pada masa sekarang ini telah ada. Mereka itu adalah
kelompok yang berada di negeri Hijaz; bernama kelompok Wahhabiyyah. Mereka
mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang benar dan terkemuka, padahal
mereka adalah para pendusta. Mereka telah dikuasai oleh setan hingga mereka
lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah golongan setan, dan sesungguhnya
golongan setan adalah orang-orang yang merugi. Kita berdo’a kepada Allah,
semoga Allah menghancurkan mereka” (Mir-ât an-Najdiyyah, h. 86).
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar