Syaikh Nashiruddin al-AlBani
adalah nama yang tidak asing di kalangan para pelajar ilmu hadis belakangan
ini. Namanya banyak dicantumkan oleh para penulis buku-buku Islam (terutama
yang berpaham Salafi & Wahabi) saat mengomentari suatu hadis.
Karya-karyanya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
para pengagumnya, sehingga namanya kini juga banyak didapati di toko-toko buku
dan stan-stan pameran buku, berhubung penerbit-penerbit buku atau majalah
berhaluan Salafi & Wahabi belakangan sudah semakin menjamur.
Bagi kaum Salafi & Wahabi,
Syaikh Nashiruddin al-Albani adalah ulama besar dan ahli hadis yang utama.
Karya-karyanya dalam bidang hadis sangat banyak dan sering dijadikan rujukan utama
oleh kaum Salafi & Wahabi dalam menghukumi riwayat hadis. Yang sedemikian
karena al-Albani sangat gemar meneliti dan mengomentari hadis-hadis yang
terdapat di dalam kitab-kitab para ulama. Pada puncaknya, al-Albani menyusun
kitab-kitab khusus mengenai hadis-hadis shahih, dha’if (lemah), dan maudhu’ (palsu),
baik yang berkenaan dengan hadis-hadis yang ada di dalam kitab-kitab para
ulama, maupun yang ia susun sendiri dengan tajuk silsilah.
Kaum Salafi & Wahabi menganggap
sepertinya al-Albani adalah ahli hadis yang sangat menguasai bidangnya,
sehingga bagi sebagian mereka seperti ada kepuasan hati ketika sudah mengetahui
pendapat al-Albani tentang hadis yang mereka bahas, dan seolah mereka sudah
mencapai hasil penilaian final saat menyebutkan “hadis ini dishahihkan
al-Albani” atau “al-Albani mendha’ifkan hadis ini”.
Akan tetapi, tahukah anda, bahwa
sesungguhnya kepiawaian Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis
diragukan oleh para ulama hadis, bahkan cenderung tidak diakui, menimbang bahwa
beliau tidak memiliki jalur keilmuan yang jelas dalam bidang tersebut. Lebih
jelasnya, penulis akan menyebutkan sekelumit gambaran tentang pribadi Syaikh
al-Albani ini sebagaimana ditulis oleh Tim Bahtsul Masa’il PCNU Jember di dalam
buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat
& Dzikir Syirik” (H. Mahrus Ali), halaman 245-247 sebagai
berikut:
Dewasa ini tidak sedikit di antara
pelajar Ahlussunnah Waljama’ah yang tertipu dengan karya-karya
al-Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya
al-Albani itu. Pada mulanya, al-Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki
kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu
hadits secara otodidak, tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang lain
kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli
hadits. Oleh karena itu al-Albani tidak memiliki sanad hadits yang mu’tabar (diakui-red).
Kemudian ia mengaku sebagai pengikut salaf, padahal memiliki akidah yang
berbeda dengan mereka, yaitu aqidah Wahhabi dantajsim (menafsirkan
ayat-ayat tentang fisik Allah apa adanya-red).
Oleh karena akidah al-Albani yang
berbeda denga akidah ulama ahli hadits dan kaum Muslimin, maka hadits-hadits
yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli
hadits. Tidak jarang al-Albani menilai dha’if dan maudhu’ terhadap
hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafizh, hanya
dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah
satu contoh misalnya, dalam kitabnya al-Tawassul Anwa’uhu wa
Ahkamuhu (cet. 3, hal. 128), al-Albani mendha’ifkan hadits Aisyah Ra.
yang diwayatkan oleh ad-Darimi dalam al-Sunan-nya, dengan alasan
dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa’id bin Zaid,
saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, al-Albani sendir
telah menilai Sa’id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan (baik)
dan jayyid (bagus) haditsnya yaitu dalam kitabnya Irwa’
al-Ghalil(5/338).
Di antara Ulama Islam yang
mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis
kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath
al-’Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari
Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah
al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi
Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa’id Mamduh dari Uni Emirat
Arab pengarang kitab Raf’u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa
al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A’zhami dari India; Syaikh
Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari
Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni
Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif
al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid
Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dari
Najd (ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki
pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut
telah mengarang bantahan terhadap al-Albani (sebagian dari buku-buku al-Albani
dan bantahannya ada pada perpustakaan kami [Tim PCNU Jember-red]).
Tulisan Syaikh Hasan bin Ali
al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihatmerupakan
kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani
tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang
dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian
ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang
ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan
penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk
diikuti dan dijadikan panutan.
Kenyataan tersebut di atas juga
diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani
yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal
wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut:
Oleh sebab itu, penetapan Syaikh
al-Albani tentang dha’if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah
yang qath’I (pasti-red) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat
saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang
melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya-red)
dalam kitab lain. (Lihat Halal dan Haram , DR. Yusuf Qardhawi,
Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417).
Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak
menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang
sekaligus menunjukkan sikapnya yang “plin-plan”, sehingga hasil penelitiannya
terhadap hadis sangat diragukan dan tidak dapat dijadikan pedoman. Belum lagi
bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial, maka semakin tampaklah
cacat yang dimilikinya itu.
Di antara fatwa-fatwa al-Albani yang
kontroversial itu sebagaimana disebut di dalam bukuMembongkar Kebohongan
Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik” (H. Mahrus
Ali), halaman 241-245 adalah :
1. Mengharamkan
memakai cincin, gelang, dan kalung emas bagi kaum wanita
2. Mengharamkan
berwudhu dengan air yang lebih dari satu mud (sekitar setengah
liter) dan mengharamkan mandi dengan air yang lebih dari lima mud (sekitar
tiga liter).
3. Mengharamkan
shalat malam melebihi 11 raka’at.
4. Mengharamkan
memakai tasbih (penghitung) untuk berdzikir.
5. Melarang
shalat tarawih melebihi 11 raka’at.
Ada pula fatwa-fatwanya yang nyeleneh, seperti:
Menganggap adzan kedua di hari Jum’at sebagai bid’ah yang tidak
boleh dilakukan (lihat al-Ajwibah al-Nafi’ah), menganggap bid’ahberkunjung
kepada keluarga dan sanak famili pada saat hari raya, mengharuskan warga Muslim
Palestina agar keluar dari negeri mereka dan menganggap yang masih bertahan di
Palestina adalah kafir (lihat Fatawa al-Albani, dikumpulkan
oleh ‘Ukasyah Abdul Mannan, hal. 18), mengajak kaum Muslimin untuk
membongka al-Qubbah al-Khadhra’ (kubah hijau yang menaungi
makan Rasulullah Saw.) dan mengajak mengeluarkan makan Rasulullah Saw. dan
Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar ke lokasi luar Masjid Nabawi (lihat Tahdzir
al-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid, hal. 68), dan bahkan
al-Albani berani menyatakan secara bahwa sikap Imam Bukhari dalam menta’wil
sebuah ayat di dalam kitab Shahih Bukhari adalah sikap yang
tidak pantas dilakukan seorang Muslim yang beriman (artinya secara tidak
langsung ia telah menuduh al-Bukhari kafir dengan sebab ta’wilnya tersebut)
(lihat Fatawa al-Albani, hal. 523).
Jadi, setelah mengetahui kenyataan
yang sedemikian buruknya tentang kredibilitas al-Albani dalam kegemarannya
mengomentari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang terdapat di berbagai kitab para
ulama, maka orang-orang berakal sehat tidak akan lagi memandang “pantas” untuk
menjadikan karya-karya al-Albani sebagai rujukan ilmiah, apalagi dalam rangka
memvonis suatu amalan sebagai bid’ah hanya karena dalilnya didha’ifkan
oleh al-Albani. Kejanggalan al-Albani itu bahkan juga dirasakan oleh ulama
Wahabi seperti al-’Utsaimin dan yang lainnya, sehingga para pengikut Salafi
& Wahabi (terutama yang ada di Indonesia) tidak sepantasnya
mengunggulkan karya-karya al-Albani, apalagi menerbitkan dan
menyebarluaskannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar